Minggu, 04 November 2012

Berkelana dengan Game

foto
Kejadian sekitar lima tahun lalu itu akan terus dikenang oleh Ritter Rusli. Kala itu, pria 24 tahun ini harus membawa komputernya ke gedung Midplaza di Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, setiap malam. Dan keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia mesti berkemas-kemas, pulang ke rumahnya di Tanjung Duren, Jakarta Barat. 

Ritter bukan seorang teknisi yang harus memperbaiki komputer milik perusahaan-perusahaan yang berkantor di gedung itu. Bersama empat temannya, Ritter justru asyik bermain game di salah satu ruangan kantor Biznet, perusahaan penyedia jaringan Internet, di lantai 8. Mungkin lebih tepatnya mereka sedang berlatih mengasah kemampuan memainkan game Warcraft Dota sebagai bekal menghadapi turnamen. Untuk itu, mereka membutuhkan jaringan Internet yang maksimal. Karena itulah mereka menumpang bermain di kantor perusahaan penyedia jaringan Internet itu.


Menurut Ritter, untuk menghadapi lawan tanding di Cina, Eropa, dan Amerika, kekuatan jaringan Internet sangat penting. Tujuannya, agar respons atas pergerakan lawan bisa dilakukan dengan cepat dan otomatis. “Ping-nya bisa cepat, enggak pake lelet,” ujarnya. “Kenyamanan latih tanding hanya bisa didapat dengan menggunakan jaringan fiber optik.”  

Begitulah, Ritter bersama temannya mau tak mau harus mengungsikan komputer mereka ke kantor Biznet. Itu mereka lakukan setiap malam. Datang pukul delapan malam, lalu pulang pukul lima pagi. “Jam enam ruangannya sudah dipakai untuk kantor,” katanya.

Bermacam turnamen diikuti Ritter bersama timnya, seperti World Gamemaster Tournament (WGT), World Cyber Games (WCG), dan Electronic Sports World Cup (ESWC). Kompetisi itu bisa berlangsung di Cina, Singapura, Malaysia, dan Thailand. Tercatat ada 62 turnamen yang mereka ikuti. Kompetisi game tingkat internasional bisa berlangsung selama dua-tiga bulan sekali. “Saya sempat mengambil cuti kuliah untuk berlatih game,” Ritter menjelaskan.

Layaknya Liga Champions dalam sepak bola, hanya tim-tim yang lolos kualifikasi di tingkat negaranya yang bisa turut serta. Ada juga yang menggunakan sistem ranking, yang hanya mengundang tim-tim yang masuk peringkat 10 besar. Untuk jenis game Warcraft Dota, misalnya, Ritter pernah berada di peringkat kedua, di bawah Amerika. Di bawahnya ada Malaysia, Singapura, dan Ukraina.

Sama halnya dengan kompetisi olahraga, para pemain game ini juga disebut sebagai atlet, tepatnya cyberathlete. Tim-tim yang beradu dalam kompetisi-kompetisi game itu juga serupa dengan klub-klub sepak bola. “Mereka dikontrak oleh perusahaan, mendapat gaji dan fasilitas lainnya,” ujar Ritter.

Awalnya, Ritter cs dikontrak oleh sebuah perusahaan Indonesia, XCN. Kemampuan mereka sudah diincar sejak memenangi berbagai turnamen game di dalam negeri. Mereka kemudian menggunakan XCN sebagai nama tim. Pada 2008, sesudah menjuarai berbagai turnamen internasional, mereka mulai dilirik perusahaan asal Inggris, FNATIC.

Sebagaimana layaknya atlet profesional, mereka mendapat gaji bulanan, fasilitas, dan akomodasi saat mengikuti kompetisi di luar negeri. Perusahaan juga akan mencarikan sponsor. Imbal baliknya, nama sponsor akan dipasang di kaus, jaket, mouse, dan merchandise anggota tim lainnya. “Pokoknya, kami tinggal fokus di gaming,” ujarnya.

Ritter bercerita, mereka mendapat gaji US$ 150 (sekitar Rp 1,5 juta) setiap bulan. Tak terlalu besar, memang. Tapi bagi Ritter dan timnya, yang terpenting adalah fasilitas lainnya yang membuat mereka bisa berfokus bermain game. “Karena, sesudah itu, banyak tawaran yang masuk,” katanya.

Masuk 10 besar peringkat dunia untuk game Warcraft Dota dan memenangi berbagai turnamen game internasional membuat mereka seolah tak memiliki lawan di dalam negeri. Akibatnya, nama mereka seakan di-blacklist, tak boleh mengikuti turnamen game dalam negeri. “Ibaratnya, kalau kami ikut, pasti kami yang menang.”

Itu cukup merepotkan mereka. Pada saat yang sama, karena tuntutan keluarga, tiap personel tim harus mulai bekerja. Dari lima anggota tim, tiga orang dari Universitas Bina Nusantara dan dua lainnya dari Universitas Tarumanagara. “Tuntutan orang tua, harus kerja,” ujarnya.

Menurut Ritter, ada banyak faktor yang membuat gamer di Indonesia belum bisa menjadi cyberathlete, seperti halnya yang berlaku di Cina atau Korea. “Di sana, cyberathlete bisa menjadi pekerjaan utama,” katanya.

Di Cina, cyberathlete tak ubahnya pemain sepak bola profesional. Transfer antarpemain kerap terjadi. Dengan iklim itu, tentu yang akan diuntungkan adalah pemainnya. “Mereka bisa meningkatkan daya tawarnya,” ujarnya.

Walhasil, pada akhir 2009, Ritter benar-benar memutuskan berhenti sebagai cyberatlete. Setelah lulus dari Jurusan Manajemen Universitas Tarumanagara, ia terjun di bisnis game dengan mendirikan Warnet Game yang ia namakan “Ritter”. “Di sini ada empat ruang VIP untuk mereka yang akan ikut kompetisi,” katanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar