Lautan di kawasan timur Indonesia tak hanya berpotensi akan minyak dan
gas bumi, tapi juga penghasil arus listrik. Studi para dosen dan alumni
ITB menemukan potensi energi terbarukan di sejumlah selat di sana
sebagai penghasil listrik. Sumbernya berasal dari arus laut.
Guru besar Oseanografi ITB, Safwan Hadi, mengatakan, ada tiga sumber
listrik baru dari kelautan di Indonesia, yaitu angin, gelombang, dan
arus laut. Potensi gelombang laut penghasil listrik berada di laut
selatan Jawa dan laut barat Sumatera. "Dari ketiganya, arus laut yang
paling berpotensi. Arus laut bisa menggerakkan turbin untuk menghasilkan
listrik," ujarnya di sela diskusi 55 Tahun Deklarasi Djuanda di ITB,
Kamis, 13 Desember 2012.
Batas minimal arus laut yang bisa
menghasilkan listrik yaitu arus berkecepatan 2 meter per detik. Arus
sekencang itu hingga 3 meter per detik ditemukan di sejumlah selat di
Indonesia timur. "Selat Lombok, Selat Alas antara Lombok dan Sumbawa,
Larantuka, dan Selat Bali," kata Safwan.
Turbin arus laut yang
sempat dirintis ITB bekerja sama dengan Politeknik Negeri Bandung sempat
mandek setelah penggagasnya, Iskandar Alisjahbana, wafat. Kini, kata
Safwan, pembuatan turbin itu dilanjutkan sebuah perusahaan lokal di
Jakarta yang pendanaannya dibantu Bank Dunia dan telah diuji coba di
Selat Bali. "Turbin dari Spanyol ada, tapi harganya sangat mahal,"
katanya.
Potensi listrik dari Selat Lombok, misalnya, berkisar
80-100 kilowatt per turbin. Masalah yang masih harus diperbaiki pada
riset berikutnya, kata Safwan, yaitu meningkatkan daya listrik yang
dihasilkan. Juga kapasitas penyimpan listrik untuk menstabilkan pasokan
setrum ketika arus menyurut.
Peringatan 55 Tahun Deklarasi
Djuanda yang lahir pada 13 Desember 1957 digelar Masyarakat Garis Depan
Nusantara, ITB, Wanadri, dan Rumah Nusantara. Deklarasi itu, ujar
panitia acara Ipong Witono, berhasil meyakinkan PBB dalam pembuatan
konvensi tentang hukum laut pada 30 April 1982, sehingga wilayah
Indonesia daratan dan lautan bisa bersatu. Djuanda Kartawidjaja, yang
saat itu jadi Perdana Menteri pada 1957-1959, dibantu pakar hukum laut
dari Universitas Padjadjaran Mochtar Kusumaatmadja. Nama Ir.H. Djuanda
diabadikan sebagai nama jalan di Kota Bandung sebagai pengganti nama
Jalan Dago.